TUGAS MAKALAH
Dosen Pembimbing : Muhammad Hanafi Zuardi, SHI, MSI
![](file:///C:/Users/nm/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.jpg)
Kelompok 10
Disusun oleh :
1. Afiana Damayanti (1177698)
Prodi/Kelas : Perbankan Syari’ah/ A
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) JURAI SIWO METRO
2012/2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an adalah pedoman atau petunjuk bagi umat manusia dalam menjalankan kehidupannya, demi mencapai kebahagiaan hidup didunia dan di akhirat. Kita sebagai umat manusia harus menjalankan segala yang diperintahkan oleh Allah SWT dan menjauhi semua larangan-Nya. Al-quran sebagai sumber hukum yang jelas dapat menentukan bahwa perbuatan itu benar atau salah sehingga tidak ada keragu-raguan dalam menentukan hukum tersebut.
Pada dasarnya kemaslahatan manusia dapat terealisasikan apabila lima unsur pokok kehidupan manusia dapat diwujudkan dan dipelihara, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Dalam usaha mencapai pemeliharaan lima unsur pokok secara sempurna perlu adanya faktor dalam elemen kebutuhan dasar manusia yakni menempatkan agama sebagai pedoman utama umat Islam.
Istilah maslahah merupakan tujuan syari’ah, dimana aktivitas ekonomi produksi, konsumsi dan pertukaran yang menyertakan kemaslahatan sebagai kewajiban agama untuk memperoleh kebaikan didunia dan di akhirat. Dengan demikian, seluruh aktivitas ekonomi uang mengandung kemaslahatan bagi umat manusia disebut sebagai kebutuhan.
Pada makalah ini akan dibahas mengenai pemikiran ekonomi pada masa Abu Ishaq Al-Syatibi dengan tujuan untuk memperoleh kemaslahatan didunia dan di akhirat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Abu Ishaq al- Syatibi
Al- Syatibi yang bernama lengkap Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad al- Lakhmi al- Gharnati al-Syatibi. Ia berasal dari suku arab Lakhmi. Nama al-Syatibi dinisbatkan ke daerah asal keluarganya, Syatibah (Xatiba atau Jativa), yang terletak dikawasan Spanyol bagian timur. Al-Syatibi dibesarkan dan memperoleh seluruh pendidikannya di ibukota kerajaan Nashr, Granada. Al-Syatibi memulai aktivitas ilmiahnya dengan belajar dan mendalami ilmu bahasa arab, hadist, ilmu kalam dan falsafah, serta berbagai ilmu lainnya, seperti ilmu falak, mantiq, dan debat.
Meskipun mempelajari dan mendalami berbagai ilmu, al-Syatibi lebih berminat untuk mempelajari bahasa arab dan khususnya ushul fiqih. Ketertarikannya terhadap ilmu ushul fiqih karena menurutnya, metodologi dan falsafah fiqih islam merupakan faktor yang sangat menentukan kekuatan dan kelemahan fiqih dalam menanggapi perubahan sosial.
Setelah memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai, al-Syatibi mengembangkan potensi keilmuannya dengan mengajarkan kepada para generasi berikutnya, seperti Abu Yahya ibn Asim, Abu Bakar al-Qadi dan Abu Abdillah al-Bayani. Di samping itu ia juga mewarisi karya-karya ilmiah, seperti Syarh Jalil’ala al khulashah fi al-Nahwu dan Ushul al-Nahwu dalam bidang bahasa arab dan al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah dan al-I’tisham dalam bidang ushul fiqih. Al-Syatibi wafat pada tanggal 8 Sya’ban 790 H (1388 M).[1]
B. Konsep Maqasid Syari’ah
Sebagai sumber utama agama Islam, Al-Qur’an mengandung berbagai ajaran. Ulama membagi kandungan Al-Qur’an dalam tiga bagian besar, yaitu aqidah, akhlak, dan syari’ah. Aqidah berkaitan dengan dasar-dasar keimanan, akhlak berkaitan dengan etika dan syariah berkaitan dengan berbagai aspek hukum yang mucul dari aqwal (perkataan) dan af’al (perbuatan). Kelompok terakhir (syari’ah), dalam sistematika hukum Islam, dibagi dalam dua hal, yakni ibadah dan muamalah.
Secara bahasa, Maqasid al-Syatibi terdiri dari dua kata, yakni maqasid dan al-syari’ah berarti jalan menuju sumber air, dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan. Menurut istilah, al-Syatibi menyatakan, “Sesungguhnya syari’ah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.” Dari pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan syari’ah menurut al-Syatibi adalah kemaslahatan umat manusia.[2]
1. Pembagian Maqasid al-Syariah
Menurut al-Syatibi, kemaslahatan manusia dapat terealisasi apabila lima unsur pokok kehidupan manusia dapat diwujudkan dan dipelihara, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Dalam hal ini ia membagi Maqasid menjati tiga tingkatan, yaitu dhururiyat, hajiyat dan tahsiniyat.
a. Dhururiyat
Jenis maqasid ini merupakan kemestian dan landasan dalam menegakkan kesejahteraan manusia didunia dan diakhirat yang mencakup pemeliharaan lima unsur pokok dalam kehidupan manusia. Pengabdian kepada lima unsur pokok tersebut akan menimbulkan kerusakan dimuka bumi dan kerugian diakhirat. Pemeliharaan terhadap lima unsur pokok dapat dilakukan dengan cara memelihara eksistensi kelima unsur pokok tersebut dalam kehidupan manusia dan melindunginya dari berbagai hal yang dapat merusak. Contohnya penunaian rukun Islam.
b. Hajiyat
Jenis maqasid ini dimaksudkan untuk memudahkan kehidupan, menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan yang lebih baik terhadap lima unsur pokok kehidupan manusia. Contohnya kebolehan untuk melaksanakan akad mudharabah, musaqat, muzara’ah, dan bai’ salam serta berbagai aktifitas ekonomi lainnya yang bertujuan untuk memudahkan kehidupan atau menghilangkan kesulitan manusia didunia.
c. Tahsiniyat
Tujuan maqasid ini adalah agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk menyempurnakan pemeliharaan lima unsur pokok kehidupan manusia sebagai pelengkap, penerang dan penghias kehidupan manusia. Contohnya mencakup kehalusan dalam berbicara dan bertindak serta pengembangan kualitas produksi dan hasil pekerjaan.
2. Korelasi Antara Dhururiyat, Hajiyat dan Tahsiniyat
Dari hasil penelaahannya secara lebih mendalam al-Syatibi menyimpulkan korelasi antara dhururiyat, hajiyat dan tahsiniyat sebagai berikut:
a) Maqasid dhururiyat merupakan dasar bagi maqasid hajiyat dan tahsiniyat
b) Kerusakan pada maqasid dhururiyat akan membawa kerusakan pula pada maqasid hajiyat dan maqasid tahsiniyat
c) Sebaliknya, kerusakan pada maqasid hajiyat dan tahsiniyat tidak dapat merusak maqasid dhururiyat
d) Kerusakan pada maqasid hajiyat dan tahsiniyat yang bersifat tetap terkadang dapat merusak maqasid dhururiyat
e) Pemeliharaan maqasid hajiyat dan tahsiniyat diperlukan demi pemeliharaan maqasid dhururiyat secara tepat.
Pengklasifikasian yang dilakukan al-Syatibi menunjukkan betapa pentingnya pemeliharaan kelima unsur pokok dalam kehidupan manusia dan pengklasifikasian tersebut juga mengacu pada pengembangan serta dinamika pemahaman hukum yang diciptakan Allah SWT dalam rangka mewujudkan kemaslahatan manusia.
C. Beberapa Pandangan al-Syatibi di Bidang Ekonomi
Berikut adalah beberapa pandangan ekonomi yang dikemukakan oleh al-Syatibi:[3]
1. Objek kepemilikan
Pada dasarnya al-Syatibi mengakui hak milik individu. Namun ia menolak kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat hidup orang banyak. Contohnya air yang tidak dapat dijadikan sebagai objek kepemilikan.
2. Pajak
Dalam pandangan al-Syatibi pemungutan pajak harus dilihat dari sudut pandang maslahah (kepentingan umum). Pajak tersebut digunakan untuk keperluan Negara seperti pembangunan jalan, pembangunan jembatan untuk kemaslahatan masyarakat.
D. Teori Kesejahteraan al-Syatibi
Dari pemaparan konsep maqasid al-Syari’ah di atas, terlihat jelas bahwa syari’ah menginginkan setiap individu memperhatikan kesejahteraan mereka. Al-Syatibi menggunakan istilah maslahah untuk menggambarkan tujuan syari’ah ini. Aktivitas ekonomi produksi, konsumsi, dan pertukaran yang menyatakan kemaslahatan seperti didefinisikan syari’ah harus diikuti sebagai kewajiban agama untuk memperoleh kebaikan didunia dan akhirat. Dengan demikian, seluruh aktivitas ekonomi yang mengandung kemaslahatan bagi umat manusia disebut sebagai kebutuhan.
Kebutuhan yang belum terpenuhi merupakan kunci utama dalam suatu proses motivasi. Seorang individu akan terdorong untuk berprilaku bila terdapat suatu dalam kekurangan dalam dirinya, baik secara spikis maupun pesikologi. Motivasi itu sendiri meliputi usaha, ketekunan, dan tujuan.
Menurut Maslow, seorang individu baru akan beralih untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lebih tinggi jika kebutuhan dasarnya sudah terpenuhi. Berdasarkan konsep hierarchy of needs, ia berpendapat bahwa garis hirarki kebutuhan manusia berdasarkan skala prioritasnya terdiri dari:[4]
a. Kebutuhan fisiologi
b. Kebutuhan keamanan
c. Kebutuhan sosial
d. Kebutuhan akan penghargaan
e. Kebutuhan aktualisasi diri
Dalam dunia manajemen, kebutuhan-kebutuhan yang dikemukakan oleh Maswlow tersebut dapat diaplikasikan sebagai berikut:
a. Pemenuhan kebutuhan fisiologi dapat diaplikasikan dalam hal pemberian upah yang adil dan lingkungan kerja yang nyaman.
b. Pemenuhan kebutuhan keamanan dapat diaplikasikan dalam hal pemberian tunjangan, keamanan kerja dan lingkungan kerja yang aman.
c. Pemenuhan kebutuhan social dapat diaplikasikan dalam hal dorongan terhadap kerjasama, stabilitas kelompok dan kesempatan berinteraksi social.
d. Pemenuhan kebutuhan akan penghargaan dapat diaplikasikan dalam hal penghormatan terhadapa jenis pekerjaan, signifikansi aktivitas pekerjaan dan pengakuan publik terhadap penampilan yang baik.
e. Pemenuhan kebutuhan akan aktualisasi diri antara lain dapat diapklikasikan dalam hal pilihan dalam kreativitas dan tantangan pekerjaan.
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Al-Syatibi menempatkan agama sebagai faktor utama dalam elemen kebutuhan dasar manusia karena agama merupakan pedoman manusia dan menjadi faktor penentu dalam mengarahkan kehidupan umat manusia didunia ini. Dalam perspektif Islam, berpijak pada doktrin keagamaan yang menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan hidup manusia dalam rangka memperoleh kemaslahatan didunia dan di akhirat merupakan bagian dari kewajiban agama, manusia akan termotivasi untuk selalu berkreasi dan bekerja keras dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
DAFTAR PUSTAKA
Chamid, Nur. 2000. Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[1] Nur Chamid. Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000) hlm. 277-279.
[2] Nur Chamid. Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000) hlm. 279-280.
[3] Nur Chamid. Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000) hlm. 283.
[4] Nur Chamid. Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000) hlm. 284.
0 komentar:
Posting Komentar